⚓️ Opini by Alman Helvas Ali LPD & PKR 10514, merupakan hasil produksi PAL Indonesia (antara)
Merupakan kebijakan pemerintah untuk mendorong industri pertahanan domestik dapat memenuhi sebagian dari kebutuhan senjata Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI. Berdasarkan kemampuan saat ini, industri pertahanan lokal baru mampu memproduksi sistem senjata dengan tingkat teknologi medium seperti pesawat angkut, kapal angkut dan kapal patroli. Sedangkan untuk sistem senjata berteknologi tinggi seperti kapal fregat, kapal selam dan pesawat tempur, Indonesia masih harus mengandalkan pada pasokan asing. Berdasarkan kebijakan saat ini, pemerintah melakukan sejumlah belanja pertahanan ke industri pertahanan dalam negeri yang mayoritas menggunakan skema dana Pinjaman Dalam Negeri (PDN), selain memakai anggaran belanja modal pada APBN.
Mengingat Kemhan merupakan konsumen utama industri pertahanan nasional, pihak yang terakhir harus memiliki rencana bisnis yang mengacu pada rencana belanja pihak pertama. Meskipun Kemhan mengimpor sistem senjata dari luar negeri, industri pertahanan domestik dilibatkan terkait dengan paket alih teknologi seperti offset, joint production dan lain sebagainya. Bahkan industri pertahanan domestik, khususnya BUMN dan atau anak usaha BUMN, memperoleh keistimewaan (privilege) untuk ditunjuk menjadi mitra lokal alih teknologi bagi industri pertahanan asing yang menjual produk mereka ke Indonesia.
Salah satu industri pertahanan yang mendapatkan keistimewaan dari Kemhan adalah PT PAL Indonesia. Firma yang didirikan oleh B.J. Habibie ini lebih dari 40 tahun terakhir telah terlibat dalam berbagai macam program alih teknologi dalam pengadaan sistem senjata, seperti program FPB-57, Landing Platform Dock (LPD) dan fregat kelas Sigma. Sejak dua tahun lalu perusahaan yang berbasis di Surabaya ini telah ditunjuk Kemhan sebagai kontraktor utama untuk pembangunan fregat Arrowhead 140 berdasarkan lisensi dari Babcock Internasional, Inggris. Keistimewaan yang didapatkan oleh PT PAL Indonesia pada satu sisi merupakan peluang dan di sisi lain memunculkan risiko apabila tidak dikelola dengan baik.
Di samping program pembangunan fregat Arrowhead 140, PT PAL Indonesia akan terlibat pula dalam program konstruksi kapal selam kelas Scorpene apabila Kemhan menandatangani kontrak akuisisi dengan Naval Group. Sebelumnya Naval Group dan PT PAL Indonesia telah menandatangani sejumlah Memorandum of Understanding (MoU) terkait dengan rencana pengadaan kapal selam kelas Scorpene. MoU tersebut merupakan bagian dari offset yang dijanjikan oleh Naval Group apabila Kemhan memutuskan membeli kapal selam diesel elektrik buatan Prancis. Sebagaimana diketahui, galangan Prancis itu telah berkomitmen membangun kapal selam kelas Scorpene sepenuhnya di Indonesia sekaligus sebagai upaya membantu Indonesia menguasai teknologi kapal selam.
Namun demikian, risiko yang terkait dengan status keistimewaan yang didapatkan oleh PT PAL Indonesia perlu dikelola dengan baik. Salah satu sumber risiko tersebut muncul dari internal perseroan dan hal demikian merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dikelola. Dewasa ini, PT PAL Indonesia telah mempunyai beberapa kontrak pembangunan kapal perang seperti fregat Arrowhead 140 untuk Kemhan Indonesia, LPD pesanan Departemen Pertahanan Nasional Filipina dan LPD bagi Uni Emirat Arab. Jumlah kontrak mungkin akan bertambah apabila pada tahun depan Kemhan memutuskan menandatangani kontrak akuisisi kapal selam kelas Scorpene dari Prancis.
KRI Halasan-630 (PAL Indonesia)
Pembangunan fregat Arrowhead 140 memiliki resiko yang besar dari berbagai aspek, seperti desain, rekayasa, konstruksi dan pengawasan mutu sebab program ini merupakan program pembangunan kapal perang dengan kompleksitas tinggi yang dilakukan oleh PT PAL Indonesia tanpa kerja sama dengan galangan lain yang telah berpengalaman. Salah satu perhatian terkait Arrowhead 140 adalah apakah nanti fregat yang dibangun di Surabaya akan mempunyai masalah weight and balance atau tidak. Hal itu mengacu pada beberapa program pembangunan kapal perang tipe lain yang selalu memiliki masalah tersebut. Begitu pula dengan pembangunan LPD pesanan Uni Emirat Arab di mana baru kali ini PT PAL Indonesia membangun kapal perang dengan panjang 163 meter.
Kondisi demikian menuntut firma ini untuk merencanakan manajemen program konstruksi kapal perang secara seksama agar semua kontrak dapat dipenuhi tepat waktu. Perlu dikalkulasi secara seksama bagaimana perencanaan finansial guna mendukung kegiatan produksi, karena kegiatan produksi membutuhkan pengucuran dana secara berkelanjutan. PT PAL Indonesia harus memiliki dukungan keuangan internal yang memadai untuk mendukung kegiatan produksi kapal untuk beberapa kontrak berbeda secara simultan dan tidak hanya dapat mengandalkan pada uang pembayaran termin dari pemberi kontrak. Hal ini merupakan tantangan karena PT PAL Indonesia mempunyai overhead cost sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar per bulan, cashflow yang ditengarai tidak baik dan keengganan pihak perbankan memberikan pinjaman komersial.
Menyangkut fasilitas produksi, keberadaan dua graving dock yaitu Dok Semarang dan Dok Irian cukup mampu mendukung proses pembangunan fregat Arrowhead 140 dan LPD, baik yang berdimensi 123 meter maupun 163 meter. Namun hal yang perlu direncanakan secara seksama adalah bagaimana agar produksi modul pada bengkel-bengkel yang berbeda berjalan sesuai dengan jadwal dan kualitas produksi yang telah ditetapkan, sehingga proses perakitan di graving dock terlaksana sesuai perencanaan. Penting untuk diingat bahwa saat ini terdapat minimal tiga kontrak yang akan menggunakan salah satu atau kedua graving dock itu dalam waktu yang berbeda.
Mengingat bahwa kontrak-kontrak yang ada saat ini penuh dengan tantangan untuk mewujudkannya, PT PAL Indonesia sebaiknya berfokus pada pemenuhan hal tersebut daripada berpikir terlalu jauh seperti aspirasi membangun kapal induk dan kapal selam otonom. Pertanyaan pertama tentang aspirasi tersebut adalah apakah ada pasar yang membutuhkan kapal induk buatan PT PAL Indonesia? Pertanyaan lainnya yaitu tentang kemampuan desain perusahaan itu untuk kapal induk dan apakah doktrin dan operasi TNI Angkatan Laut telah menyebutkan kapal induk sebagai kebutuhan? Begitu pula tentang kapal selam otonom, masih terdapat keraguan yang besar apakah benar PT PAL Indonesia telah menguasai teknologi otonom atau perusahaan apa yang akan memasok teknologi artificial intelligence ke perusahaan ini? (miq/miq)
Merupakan kebijakan pemerintah untuk mendorong industri pertahanan domestik dapat memenuhi sebagian dari kebutuhan senjata Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI. Berdasarkan kemampuan saat ini, industri pertahanan lokal baru mampu memproduksi sistem senjata dengan tingkat teknologi medium seperti pesawat angkut, kapal angkut dan kapal patroli. Sedangkan untuk sistem senjata berteknologi tinggi seperti kapal fregat, kapal selam dan pesawat tempur, Indonesia masih harus mengandalkan pada pasokan asing. Berdasarkan kebijakan saat ini, pemerintah melakukan sejumlah belanja pertahanan ke industri pertahanan dalam negeri yang mayoritas menggunakan skema dana Pinjaman Dalam Negeri (PDN), selain memakai anggaran belanja modal pada APBN.
Mengingat Kemhan merupakan konsumen utama industri pertahanan nasional, pihak yang terakhir harus memiliki rencana bisnis yang mengacu pada rencana belanja pihak pertama. Meskipun Kemhan mengimpor sistem senjata dari luar negeri, industri pertahanan domestik dilibatkan terkait dengan paket alih teknologi seperti offset, joint production dan lain sebagainya. Bahkan industri pertahanan domestik, khususnya BUMN dan atau anak usaha BUMN, memperoleh keistimewaan (privilege) untuk ditunjuk menjadi mitra lokal alih teknologi bagi industri pertahanan asing yang menjual produk mereka ke Indonesia.
Salah satu industri pertahanan yang mendapatkan keistimewaan dari Kemhan adalah PT PAL Indonesia. Firma yang didirikan oleh B.J. Habibie ini lebih dari 40 tahun terakhir telah terlibat dalam berbagai macam program alih teknologi dalam pengadaan sistem senjata, seperti program FPB-57, Landing Platform Dock (LPD) dan fregat kelas Sigma. Sejak dua tahun lalu perusahaan yang berbasis di Surabaya ini telah ditunjuk Kemhan sebagai kontraktor utama untuk pembangunan fregat Arrowhead 140 berdasarkan lisensi dari Babcock Internasional, Inggris. Keistimewaan yang didapatkan oleh PT PAL Indonesia pada satu sisi merupakan peluang dan di sisi lain memunculkan risiko apabila tidak dikelola dengan baik.
Di samping program pembangunan fregat Arrowhead 140, PT PAL Indonesia akan terlibat pula dalam program konstruksi kapal selam kelas Scorpene apabila Kemhan menandatangani kontrak akuisisi dengan Naval Group. Sebelumnya Naval Group dan PT PAL Indonesia telah menandatangani sejumlah Memorandum of Understanding (MoU) terkait dengan rencana pengadaan kapal selam kelas Scorpene. MoU tersebut merupakan bagian dari offset yang dijanjikan oleh Naval Group apabila Kemhan memutuskan membeli kapal selam diesel elektrik buatan Prancis. Sebagaimana diketahui, galangan Prancis itu telah berkomitmen membangun kapal selam kelas Scorpene sepenuhnya di Indonesia sekaligus sebagai upaya membantu Indonesia menguasai teknologi kapal selam.
Namun demikian, risiko yang terkait dengan status keistimewaan yang didapatkan oleh PT PAL Indonesia perlu dikelola dengan baik. Salah satu sumber risiko tersebut muncul dari internal perseroan dan hal demikian merupakan suatu tantangan tersendiri untuk dikelola. Dewasa ini, PT PAL Indonesia telah mempunyai beberapa kontrak pembangunan kapal perang seperti fregat Arrowhead 140 untuk Kemhan Indonesia, LPD pesanan Departemen Pertahanan Nasional Filipina dan LPD bagi Uni Emirat Arab. Jumlah kontrak mungkin akan bertambah apabila pada tahun depan Kemhan memutuskan menandatangani kontrak akuisisi kapal selam kelas Scorpene dari Prancis.
KRI Halasan-630 (PAL Indonesia)
Pembangunan fregat Arrowhead 140 memiliki resiko yang besar dari berbagai aspek, seperti desain, rekayasa, konstruksi dan pengawasan mutu sebab program ini merupakan program pembangunan kapal perang dengan kompleksitas tinggi yang dilakukan oleh PT PAL Indonesia tanpa kerja sama dengan galangan lain yang telah berpengalaman. Salah satu perhatian terkait Arrowhead 140 adalah apakah nanti fregat yang dibangun di Surabaya akan mempunyai masalah weight and balance atau tidak. Hal itu mengacu pada beberapa program pembangunan kapal perang tipe lain yang selalu memiliki masalah tersebut. Begitu pula dengan pembangunan LPD pesanan Uni Emirat Arab di mana baru kali ini PT PAL Indonesia membangun kapal perang dengan panjang 163 meter.
Kondisi demikian menuntut firma ini untuk merencanakan manajemen program konstruksi kapal perang secara seksama agar semua kontrak dapat dipenuhi tepat waktu. Perlu dikalkulasi secara seksama bagaimana perencanaan finansial guna mendukung kegiatan produksi, karena kegiatan produksi membutuhkan pengucuran dana secara berkelanjutan. PT PAL Indonesia harus memiliki dukungan keuangan internal yang memadai untuk mendukung kegiatan produksi kapal untuk beberapa kontrak berbeda secara simultan dan tidak hanya dapat mengandalkan pada uang pembayaran termin dari pemberi kontrak. Hal ini merupakan tantangan karena PT PAL Indonesia mempunyai overhead cost sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar per bulan, cashflow yang ditengarai tidak baik dan keengganan pihak perbankan memberikan pinjaman komersial.
Menyangkut fasilitas produksi, keberadaan dua graving dock yaitu Dok Semarang dan Dok Irian cukup mampu mendukung proses pembangunan fregat Arrowhead 140 dan LPD, baik yang berdimensi 123 meter maupun 163 meter. Namun hal yang perlu direncanakan secara seksama adalah bagaimana agar produksi modul pada bengkel-bengkel yang berbeda berjalan sesuai dengan jadwal dan kualitas produksi yang telah ditetapkan, sehingga proses perakitan di graving dock terlaksana sesuai perencanaan. Penting untuk diingat bahwa saat ini terdapat minimal tiga kontrak yang akan menggunakan salah satu atau kedua graving dock itu dalam waktu yang berbeda.
Mengingat bahwa kontrak-kontrak yang ada saat ini penuh dengan tantangan untuk mewujudkannya, PT PAL Indonesia sebaiknya berfokus pada pemenuhan hal tersebut daripada berpikir terlalu jauh seperti aspirasi membangun kapal induk dan kapal selam otonom. Pertanyaan pertama tentang aspirasi tersebut adalah apakah ada pasar yang membutuhkan kapal induk buatan PT PAL Indonesia? Pertanyaan lainnya yaitu tentang kemampuan desain perusahaan itu untuk kapal induk dan apakah doktrin dan operasi TNI Angkatan Laut telah menyebutkan kapal induk sebagai kebutuhan? Begitu pula tentang kapal selam otonom, masih terdapat keraguan yang besar apakah benar PT PAL Indonesia telah menguasai teknologi otonom atau perusahaan apa yang akan memasok teknologi artificial intelligence ke perusahaan ini? (miq/miq)
⚓️ CNBC